Posts

Coklat

Ini adalah sambungan kepada tulisan yang pernah dikongsikan pada September 2013 : Vanila “ Apa maksud kau kau nak pergi jauh? Aku tak faham.” “Aku dapat tawaran sambung belajar di US.” “Aku tak kisah kau nak pergi US ke, London ke, Korea Utara ke. Yang aku kisah janji kita!” Dia tunduk, diam. Aku jalan mundar-mandir. Dalam hati ini bergolak seribu rasa. “Aku sudah tolak tawaran-tawaran yang aku dapat sebab kita janji kita nak study sini saja. Sampai hati kau buat aku macam ni. Sampai hati kau khianati janji kita. Khianati aku!” “Maaf.” Lama diam. Angin yang tadi bertiup pun ikut berhenti berhembus. Yang ada hanya sayup bunyi-bunyi budak bermain dari seberang padang. Sedikit demi sedikit aku menyusun pemikiran aku agar tak tersalah bicara. Dia bukan orang yang suka-suka buat keputusan tanpa sebab munasabah. “Baiklah. Jujur aku marah, aku tak faham kenapa kau macam ni. Tapi itu kita sembang belakang. Tentang tawaran yang aku tolak tu aku boleh cuba buat rayuan. Tapi hal yang penting sek

Hot Mess

     It’s hot. It’s arid. The air sizzles like it will spontaneously burst into flames. From afar I can see the horizon blurred by the haze. Freakin Indonesia and their annual ritual of choking us dead.      I’m drenched, and my arms are sticky and numb from supporting my sweaty forehead when I tried to sleep the heat away but that’s now moot because I’m awake, and annoyed at the smallest things now. The rising temperature somehow lowers the baseline of tolerance. Like this one little fly that’s been bothering me while I was asleep. One. Fly. So annoyed that it was somehow able to circumnavigate the maze of flytraps that I littered across the floor and tabletops.      Usually, I’ll just wave away this measly pest. But these past few days they’ve been under my radar just from the sheer number of them. There are hundreds of them if not more. I can’t shake them off. Hence the fly traps. There’s something about this hot weather and a dead cat that’s like a perfect combo meal for these litt

Dream A Little Dream of Me

Have you ever missed someone in your dreams? Like you haven't seen them in the flesh for a very long time and there they are, right in front of you, so real you can feel your skin dented under the touch of their fingers. And some time at the very end you’d figure out that it is just a mind game, and very soon the illusion will end. And dreams like these hurt so much like they’re real. And doubly painful when you're dreaming your past memories. It doesn’t even have to be a particularly special memory, just you and them doing the mundanest things in places so familiar, but places you can’t ever go back because space, sometimes moves forward like time does. You can never go back to your old house because it’s no longer yours or it’s simply not there anymore. That shared bedroom you cleaned together on Sundays. The mamak you met after a hard day at work. They cannot be yours again. Even if you try your best you can tell it’s not the same thing. The sound, the air, the light, the sm

Did You Still Remember Our Memories of the 90s

Image
Did you still remember our little two-room house? Wooden shutters for windows identical except for the one long one facing east And the tiny verandah at the front overlooking what was an unpaved and dusty street There’ll be red all over our clothes and our feet after an evening there playing stick bare feet. Did you remember when we used to climb that rose apple tree? One that used to shade the corner of our parents' room We’d stake a claim on which branch was ours I was slow so I got the crooked one We’d dream of building tree huts one for each branch And when it’s in season we’d collect the fruit Sometimes we eat them raw sometimes we cut them in half put them in the fridge checking them every several minutes before savoring the cool, watery treat Did you remember when our nails would be so black with dirt under After we played hunting for treasures Below the towering kecapi tree and in the shallow water, ankle-deep Down at the swampy lowland near the pond over the fence One time

Bandarasa

Image
Ada yang tak sempat aku katakan Padamu yang tidak lagi hadir dalam lamunan Ketika kita bertemu di suatu bandar di hujung negeri Mencari nama pada rasa yang tidak kita mengerti Ada yang tak sempat aku fahamkan Ketika kita memerhati bandar ini dalam diam Penghuninya yang sibuk menelusur jalan-jalan yang tidak teratur Tidak seperti negeri desa yang sudah aku huni Hampir dua tahun tak lama lagi Bandar yang menjadi saksi pertemuan kita yang hampir sedekad Bandar yang menyimpan banyak rahsia dan cerita Tetapi angin selat Melaka bagaikan terhenti di sini hari ini Menyesakkan Sehingga pancaindera aku menjadi tumpul Buta dan tuli dengan kata-kata yang tersirat Sedangkan itu adalah bahasa kita Semenjak hari pertama hingga tujuh tahun lamanya Ada yang tidak sempat aku luahkan Padamu yang aku lihat tersenyum Tiada lagi garis kerisauan di dahimu Tiada lagi ketegangan dalam suaramu Engkau aku lihat tenang Apabila kita berbicara tentang masa depan Ada keyakinan dalam renung matamu Ada kesabaran dalam

Pertemuan Terakhir

Sepertinya aku perlu bersendiri. Hingar suara biar pun dari seorang bagai menampar gegendang telinga. Dan aku benci bila aku membenci. Lagi-lagi pada yang aku kisah untuk kasihkan. Pertemuan kita yang terakhir nampaknya lagi menambah sesak dalam dada. Dunia melihat kita gembira, walhal deritalah yang mencantum hati kita. Kita cuba merungkai tali-tali takdir yang sudah terlalu kusut, hingga terlilit jari-jari kita sewaktu kita bertingkah tentangnya, di hujung malam yang kian kemamar. Sedangkan masa dan mata sudah letih menunggu kita, masih lagi aku mencuba kerana ada ketulusan dibalik tali yang bergumpal ini . Tetapi akal dan pengalaman yang dangkal manakan mampu mengundurkan tiga dekad yang dosa dan derita. Wahai teman, entah mengapa aku merasakan sudah sampai kita di garis perpisahan. Cabang di jalan ini menduga kaki yang letih untuk terus berjalan. Keletihan yang aku takut bercambah menjadi api, membakar kita bersama. Jika benar perkiraannya, tidak ada lagi yang mampu aku tawarkan ke

Train to Dabong III

Image
 “Sunrise! Sunrise!” Ada sekumpulan lelaki menjerit-jerit di luar khemah.   “Siapa tu?” Tanya Adeng, mamai. “Orang nak tengok sunrise ,” aku jawab. “Sekarang pukul berapa?” “Lima.” “Tak logik.” Adeng, adeng. Malam semalam mengigau macam kena sengat lipan, pagi buta ni membebel pasal logik pulak. Hahaha. Aku dah tak boleh tidur balik. Saiful pun melilau dekat luar. Jadi aku bangun dan duduk dekat unggun api. Apinya dah malap tapi baranya banyak lagi, jadi aku kutip-kutip daun buluh jadi bahan bakar. Kami sembang sekejap pasal cerita Atoq malam tadi. Tak lama kemudian Atoq datang. Sama terjaga sebab khemahnya dekat laluan orang pergi tengok sunrise . Atau mungkin juga sebab khemah muat satu Bad disumbat tiga orang. It’s so ridiculously early still , sebab lama juga kami bertiga bersembang sebelum nampak cahaya matahari terbit. Tak logik. Tapi baguslah dapat juga tips dari Atoq. Katanya untuk gatal-gatal digigit pacat letak krim atau minyak but-but. Aku ingat parut aku yang gatalnya sampa