Kawan
Malam ini, aku akan hilang seorang
kawan yang hidupnya dulu seputar buku, lagu, dan secawan teh. Pergi bukanlah
selamanya, beberapa hari dan malam cuma. Pergi menakluk puncak nan tiga, kalau
ada izin Tuhan. Entah hati ini mengapa terasa berat. Semacam dengan kembara
yang kali ini, lengkap terjawab soalan-soalan yang tiada hati untuk aku ucap:
Adakah engkau
mengharap belas, perhatian, dan kasih dari yang lain?
Dari mereka yang
tidak satu tahun engkau kenal?
Dari mereka
yang tidak satu tahun pun mengenal engkau?
Rasanya seperti
kita bermain XOX, kawan. Aku cuba mematikan langkah engkau dengan X. Tapi
engkau tangkas melakar O. Mencuba aku perangkap engkau di penjuru dengan sebuah
pangkah, tapi cepat engkau mengubah tingkah. Bila kotak-kotak hampir habis
terisi di tengah dan di hujung, yang aku dapat lakukan hanyalah play
along. Ingatkah lagi engkau halnya Bukit Kutu dulu? Kalau hati engkau tetaplah pada kembara yang datang ini, buatlah sehabisnya sebagaimana di kembara yang itu, sampai puncaknya kau jejak, sampai awanan engkau pijak.
Tak
kiralah kotak mana yang aku pangkah pun, adakah menghalang atau play along, lakaran yang pengakhiran, kata yang terakhir tetaplah dari engkau.
Dan jelaslah malam ini engkau memilih untuk berkata dengan...jahat.
Adakah engkau
mengharap belas, perhatian, dan kasih dari yang lain?
Ya.
Dari mereka yang
tidak satu tahun pun engkau kenal?
Ya.
Dari mereka yang
tidak satu tahun pun mengenal engkau?
Ya.
Kau tahu, perasaan
yang dalam hati ini dapatlah aku nisbahkan dengan rasa hilangnya persahabatan kau
dengan Abang. Sebagaimana engkau patut meraikan pertunangan Abang, seperti
itulah juga patut aku bergembira engkau mencabar diri, menghayun kaki, tak
berhenti-henti mendaki. Tapi jika itu yang
patut kita lakukan, mengapa hati kita pedih seperti dihunjam bilah-bilah
pengkhianatan? Dan jika engkau pernah merasa sakit yang sama, apalah sedikit faham akan skeptis dan ralatku.
Jujur aku katakan, demi diri engkau yang aku kenal dan kisah, demi gunung-ganang yang aku sumpah, demi sedikit perhatian yang kita sembah, aku merasa takut untuk engkau. Bukanlah kudratmu yang aku pertikai, tapi siapalah di kecelikan akal mahu membayang seorang kawan memikul sepukal lecet, lelah, dan mengah, bahkan berharian bermalaman pula!
Apalah nasib engkau di gelap hutan, di dasar lembah, di sipi lereng. Berlarikah atau berjalankah? Jangan-janganlah hilang kudrat dan arah. Jangan-janganlah mengheret bagasi, menyeret kaki. Jangan-janganlah tersadung terjelepuk. Bulatkan tekad sebulat badanmu, bangkitlah engkau dari duduk.
Wahai gunung yang tiga, janganlah engkau kejam menghukum manusia yang menginjak wajahmu, sedangkan engkau itu juga sekadar segumpal batu yang diangkat Tuhan dari dasar tanah dan lautan. Janganlah engkau membalas angkuh mereka dengan angkuh pula, janganlah mereka jatuh dibiar jatuh. Engkau berilah mereka sedikit belas, jangan kaujadi sang penghukum, sang pengulas.
Engkau lebih tahu wahai gunung, akan Bumi yang engkau pasakkan ini bila-bila saja bisa bergulung. Biarkan perihal yang haq dan batil dinisab Yang Hakim, Yang Agung.
Wahai kawan, pergi kau bukanlah selamanya, beberapa hari dan malam cuma. Benarkah? Aku tak begitu pasti lagi. Mungkin engkau akan pulang, ya, tapi adakah yang pulang itu engkau? Mengapa kurasa di akhirnya nanti, tidaklah engkau mendapat sesuatu dari puncak pergunungan, tetapi tertinggal pula satu dua cebis dirimu, fat zat yang menjadikan engkau seorang... kawan.
Comments