Samsara Laut

Deraman enjin diesel mencakar papan yang lembab. Disentap sauh yang melangut di ujung kapal, dicampak di tengah laut, di bawah lindungan astral.

Enjin dimatikan, deram jadi batuk, batuk jadi dehem. Kemudian senyap. Telinga semacam dipekap tiada-bunyi, sengap terlampau sunyi.

Berlabuhlah aku di lebuh nautika, melempar perambut di lantai samudera, diam makhluk laut mencari suaka.
Dan aku? Aku datang mencari suara.

Dibalut lembut henjutan laut, diserkup langit kosong bebintang tak dijemput. Sedangkan bulan juga digerhana awan, pudarlah wajahmu dari ingatan, saat buruj tidak terjahit terlihatkan. Sebegitu sekali hebatnya kesilapan diri, menjenguk pun tidak layak.

Kemaafan apa aku perlu lafazkan, sesalan apa yang harusku hafazkan, barulah engkau mahu menerobos tembus dari balik awan menyinar serba mulus, lagi terang dari sang badrus. Kalau harus aku menyelam ke lurah hatimu, sedalam mana baru kanku temu pengampunan? Di balik kubu yang kaubina dari rencam rasa yang engkau pendamkan, sekuat mana harus kuumpil baru kau sudi membuka pintu hati yang selama ini terkatup mati?

Tapi di sini, di dalam laut hati aku sendiri yang terlalu lama gersang cahaya ditelangkup gelap, secebis luminis pun kian malap. Hitam laut hati ini menyusup ke langit, hingga tak bisa dibanding pejamkah celik. Jeritan hati yang bisu biar terdengar dek lautan Terengganu, keluh-kesah yang mendesah sayup. Wahai laut, aku berahikan prakata tentang perasaan, prarasa tentang cinta, bahkan sembang kosong dan kekek tawa yang aku sangka tak berpenghujung. Tak dapat diramal akal bahawa bahagia ini cuma sejengkal, walhal selebihnya pengharapan mengkal, permulaan cerita derita. 

Bicara laut biarlah derita itu melindap. Angin samudera pula bertiup ke cuping telinga, bisiknya menyelinap ke jiwa seakan berkata, sudahlah, lepaskan harap.

Dan tiadalah hati ini larat lagi! Wahai insan yang aku kejar pengampunan, tidaklah sehari berlalu tanpa aku melibas belakang badan dengan cambuk sesal, belikat aku sudah berselirat birat, parutnya cabuk, cacahan sebal.

Jadi, kepekatan gelap ini biarlah menjadi soles bagi hati yang terlalu lama dicalar guris. Biar malam ini jadi penutup pada samsara, yang menggulung aku sekeras ombak yang gelora. Derailah garang sang badai menjadi air, terungkai saat bertemu pantai, sisanya bahkan tumimbal lahir, jadi buih di himpunan pasir, menggumam deruman si guntur, membumi arka sang petir.

Maha asa kaubukalah mata ketigaku yang dulunya gelap aspal. Supaya dapatku menafsir suara takdir yang serasa hayatnya ekuivokal. Dengan sifir kehidupan dan logaritma degup jiwa yang kauajarkan, akan aku pilih satu terjemahan, dari dua yang bercanggahan.

Di sunyi tanpa enjin berderaman, melangut muka ke langit tak tercerapkan, bawah lindungan astral yang kian terbit kian dian. Aku rupanya bukan sendirian, bahkan termerdekakan.


Comments

Popular

Superficial

Love-Hate

Coklat